Biografi KH. Ibnu Hajar Pendiri Pondok Pesantren Darussalikin


Romo Kyai Ibnu hajar merupakan putra pertama dari sebelas bersaudara dari Ayah yang bernama Kyai Ma’shum bin Fatawi bin Sastrowijoyo bin Raden Salim bin Surowitro, Mbah Surowitro merupakan seorang tokoh di daerah Kepil yang kemudian berbesan dengan Mbah Abdul Fatah Kepil, Mbah Abdul Fatah memiliki putra laki-laki yang bernama Kyai Musthofa, seorang kyai di kabupaten Wonosobo, tepatnya di Kauman Wonosobo. Mbah Musthofa memiliki putri yang bernama Nyai Qoni’ah yang mana putri beliau tersebut diambil mantu oleh Mbah Faqih Bumen, Wonosobo, Nyai Qoni’ah dinikahkan dengan putra Mbah Faqih yang bernama Hasbullah, dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai banyak putra-putri diantaranya adalah Nyai Thohiroh.
Romo Kyai Ma’shum, Ayah kandung Kyai Ibnu Hajar nyantri di desa Pungalan Purworejo. Di masa nyantri Guru beliau sempat kaget melihat kejadian aneh, saat beliau keliling di malam hari beliau mendapati sinar yang terang di surau pesantrennya, beliau tidak membangunkan satu persatu santri melainkan beliau memberi tanda dari sumber cahaya terang tersebut dengan mengikat sarung salah satu santri yang berada di bawah cahaya yang terang itu. Keesokan hari beliau bertanya pada santrinya “ Sopo seng mau bengi sarunge di taleni?” kemudian Mbah Ma’shum menjawab bahwa sarung yang diikat adalah sarungnya. Di masa nyantri tersebut Mbah Ma’shum bersahabat akrab dengan Mbah Abu Jamroh, seorang Ulama dari desa Kalisuren, konon pada suatu hari Mbah Abu Jamroh dan Mbah Ma’shum ziaroh bersama ke makam Mbah Imam Puro, Purworejo. Beliau berdua berlari untuk sampai makam Mbah Imam Puro, sesampainya di makam, beliau berdua kelelahan hingga Mbah Ma’shum ketiduran, di dalam tidurnya Mbah Ma’shum bermimpi melihat ada bintang dan bunga besar di tengah lautan yang dikelilingi bunga-bunga kecil nan indah, diceritakan bahwa mimpi tersebut isyaroh yaitu bintang berarti Mbah Ma’shum dan bunga-bunga tersebut sebagai putra-putra beliau, yang memang pada nyatanya putra-putra Mbah Ma’shum semua menjadi tokoh-tokoh ulama terkenal.
Diantara putra-putra Mbah Ma’shum yaitu Mbah Ibnu Hajar, Ahmad Bukhori, Ahmad Sya’roni, Kyai Arwan, Nyai Wartiyah, Nyai Saifillah, Kyai Zainuddin, Kyai Ma’mur (Mursyid Thoriqoh Syatoriyah Ngemplak, Purworejo), Nyai Tasrifiyah, Nyai Jumlah Ismiyah.
Kyai Ibnu Hajar lahir pada tahun 1917 M. wafat tahun 1957 M. beliau berada di kandungan Uminya sekitar 2 tahun, perjalanan nyantri beliau tidak sedikit, beliau nyantri kepada guru-gurunya sekitar 17 tahun, diawali dengan ngajinya kepada Abahnya yaitu Mbah Ma’shum diteruskan ngaji kepada Mbah Abu Jamroh bin Abdul Majid, salah satu sahabat Abah Ma’shum ketika masih nyantri. Kemudian beliau meneruskan nyantri ke Magelang, tepatnya di Grabag dengan Gurunya Kyai Rohmat Muhdoh, yaitu salah satu alumni Kyai Kholil Bangkalan, beliau Kyai Ibnu Hajar mengaji kepada Kyai Rohmat selesai ketika Kyai Rohmat berpulang ke rahmat Allah, ngaji Kyai Ibnu Hajar tidak selesai di situ beliau masih meneruskan ngajinya ke Muntilan magelang, yaitu di Watucongol kepada Simbah KH. Dalhar bin Abdurrohman, semasa ngajinya kepada Kyai Dalhar beliau sangat tekun belajar sampai lupa akan dirinya, beliau sering lupa dengan makan yang seharusnya menjadi kebutuhan beliau, beliau ngaji dengan Mbah Dalhar selam delapan tahun dengan mengkhatamkan tafsir Jalalain 6 kali khataman. Setelah itu di umurnya yang menginjak 21 tahun beliau dipanggil Abahnya untuk pulang ke Ndalem Mbah Ma’shum ternyata beliau akan dinikahkan dengan Nyai Thohiroh binti Hasbulloh yaitu sekitar tahun 1939.
Setelah pernikahan dengan Nyai Thohiroh beliau dikaruniai putra pertama yang bernama Abdul Barr sekitar tahun 1940, dan juga belum memutuskan untuk selesai ngaji malah beliau kembali lagi ke pesantrennya di Watucongol selama 5 tahun dan mengaji kepada seniornya yaitu Mbah Kyai Kholil Juwono Pati, salah satu alumni Pondok Termas.
Berpamitnya Kyai Ibnu hajar dari pesantrennya yaitu beliau di isyaroh dengan adanya makam Simbah Raden Santri yang padahal makam Simbah Raden Santri sudah ada di Gunung Pring, beliau Kyai Ibnu hajar tetap mencari makam tersebut dengan bantuan simbah Abu Na’im Kabutuh yang konon beliau Simbah Abu Na’im adalah wali semasa itu.
Setelah Kyai Ibnu Hajar boyong dari Watucongol, beliau membeli sebidang tanah di Tempelsari dan dibangun masjid beserta pesantren sebagai pusat  pembelajaran ilmu agama yang dikelola oleh Kyai Ibnu Hajar.
Kyai Ibnu Hajar merupakan Kyai Kharismatik, santri beliau lumayan banyak, terlebih pada saat pengajian Romadlon (pengajian Al Qur’an dan kitab Turots kilatan) santri kalong yang datang dari penjuru desa disekitar kecamatan Kertek Kalikajar berbondong-bondong dengan berjalan kaki menuju desa Tempelsari untuk menimba ilmu kepada beliau Kyai Ibnu Hajar.
Diantara santri tetap Kyai Ibnu Hajar yaitu Simbah Hasan Askari dari Mangli yang sekarang sudah masyhur tentang kewalian Simbah Hasan Askari Mangli, Simbah Hasan Askari mengaji kepada beliau Kyai Ibnu Hajar bersama keponakannya yaitu Mbah Muhaimin Jepara dan Mbah Amin Sokaraja.
Simbah Kyai Zainuddin juga termasuk santri beliau Kyai Ibnu hajar, Beliau simbah Kyai Zainuddin ngaji ditempat kakaknya dengan tetap menjaga sikap sebagai seorang santri, Kyai Zainuddin sangat disiplin dan sendiko dawuh kepada perintah kakaknya.
Berjalannya waktu tepatnya pada tahun 1957 beliau Kyai Ibnu Hajar berpulang ke rahmat Allah dengan meninggalkan istrinya Nyai Thohiroh dan empat putra yaitu Abdul Barr, Asnawi, Musthofa Afifi dan Ahmad Baihaqi dan juga meninggalkan pesantrennya tersebut, yang setelah itu perjuangan beliau diteruskan oleh adik kandungnya yaitu Simbah Kyai Zainuddin.

Biografi KH. Ibnu Hajar Pendiri Pondok Pesantren Darussalikin

Romo Kyai Ibnu hajar merupakan putra pertama dari sebelas bersaudara dari Ayah yang bernama Kyai Ma’shum bin Fatawi bin Sastrowijoyo bin R...